Kamis, 04 Oktober 2012

Sempu, Pulau Di ujung Jawa



Terdengar suara ombak menyambut kedatangan saya. Birunya air laut terlihat berkilauan karena sorotan sinar mentari yang cukup terik. Saya pun menuruni minibus dan langsung berjalan menuju bibir pantai. Dari tempat saya berpijak, terlihat Pulau Sempu dengan pepehonan yang tumbuh dengan rimbunnya. Saya semakin tertarik, tidak sabar rasanya untuk menyeberang. Tidak sabar pula untuk merasakan petualangan tiga paket lengkap, yaitu trekking, berkemah dan berenang di surga terpencil itu.
Perjalanan panjang dari Kota Baru Malang ke Sendang Biru ternyata membuat perut lapar. Terlihat tenda kecil di pantai yang tampak menjual makan. Sesampainya di tenda kecil, seorang Ibu yang sudah memasuki usia senja langsung menyapa saya, “Dik, mau makan apa?”. “Di sini ada apa saja, ya Bu?” tanya saya penasaran. “Oh, cuma ada nasi campur, dik,” jawab sang Ibu dengan logat Jawa yang kental. Nasi campur itu isinya sayuran, ditambah tahu potong, cingur, lalu disiram dengan saus kacang kemudian diaduk. Saus kacangnya ditambahkan dengan pisang batu biar aroma dan rasanya bertambah sedap, setidaknya begitu menurut Ibu itu.
Saya saksikan si Ibu menyiapkan pesanan saya. Dengan cekatan Ibu itu mengulek saos kacang yang dicampur dengan pisang batu, menyiapkan sayuran dan tahu yang akan dicampur. Tak lama kemudian, secepat kilat nasi campur pun jadi. Suapan pertama terasa amat lezat, saya rasakan tahu goreng yang gurih, ditambah saus kacang yang rasanya lezat. Sayur-mayurnya juga terasa segar.
Perut terasa penuh, energi kembali terisi lagi, rasanya cukup bekal energi untuktrekking di Pulau Sempu nanti. Usai makan, saya dan teman-teman bergegas menuju rumah penduduk yang letaknya di sekitar Pantai Sendang Biru. Saya akan menitipkan sebagian barang agar tidak terlalu berat dan repot saat trekking di Pulau Sempu nanti. Sang Ibu pemilik rumah itu sangat baik, dia meyambut kami semua dengan senyuman khas Jawa yang sangat ramah. Perlahan kami mengemas kembali barang-barang yang dirasa tidak perlu untuk dibawa ke Pulau Sempu. Satu per satu saya pilih-pilih barang bawaan yang perlu dibawa. Salah satu yang paling penting untuk dibawa dan tidak boleh tertinggal adalah tenda untuk berkemah. Kami akan berkemah di pinggir Danau Segara Anakan.
Selesai mengemas barang-barang, saya beranjak ke Kantor Balai Konservasi Pulau Sempu. Di sana saya dan teman-teman meminjam sepatu untuk trekking sekaligus mendengarkan pengarahan dari petugas Balai Konservasi. Peraturan di Pulau Sempu mengatakan kami harus terlebih dahulu memohon izin ke petugas Balai Konservasi. Selsai pengarahan, kami menghampiri kapal yang sebelumnya sudah kami pesan untuk mengantarkan kami menyeberang ke Pulau Sempu.
Tidak sampai sepuluh menit kapal sudah sampai di bibir Pulau Sempu. Sesampainya di sana, kala itu hari sudah hampir sore, kami semua langsung bergegas turun dari kapal untuk segera trekking agar hari tidak beranjak gelap.
Langkah pertama memasuki hutan Pulau Sempu menorehkan kesan petualangan yang luar biasa, suasanya teduh, udara bersih dan segar, sejauh mata mamandang terlihat pohon-pohon besar. Trekking menuju Segara Anakan menjadi semakin menantang dan terasa semangat petualangannya. Diiringi rasa penasaran tingkat tinggi terhadap Segara Anakan saya terus melangkah menikmati perjalanan.
Segara Anakan bisa dikatakan sebagai bentang alam yang menjadi ikon di Pulau Sempu. Karena Danau inilah para pejalan dan pencinta alam Indonesia datang berbondong-bondong ke sini!

Segara Anakan adalah danau air asin yang terletak di Pulau Sempu, danau ini berair asin karena sumber mata air danau ini berasal langsung dari laut. Segara Anakan dikelilingi tebing-tebing tinggi yang memanjang luas, tebing terlihat sangat indah dan hijau tertutup pepohonan, di belakang tebing terdengar suara gemuruh ombak yang berasal dari lautan Samudera Hindia. Selain indah, danau ini juga unik. Keunikan dari Segara Anakan adalah lubang kecil yang terdapat di salah satu tebing, lubang itulah yang menjadi pintu masuk air dari Samudera Hindia. Air yang terbawa ombak dengan derasnya mengalir masuk ke Pulau Sempu melalui celah tersebut, masuk terus-menerus seiring deburan ombak, sampai akhirnya membentuk Danau Segara Anakan.
Biasanya, untuk menikmati surga tersembunyi memang harus dengan pengorbanan yang lebih, tidak bisa dengan cara liburan dengan gaya “plesiran“. Trekking pada jalan setapak di tengah hutan, ditemani dengan medan yang berlumpur.
Ternyata kami tetap sempat mengalami trekking di hari yang gelap, karena kami agak terlambat. Jalan setapak menuju Segara Anakan dipenuhi hutan belantara, bisa dibayangkan betapa gelapnya malam itu, kami berjalan beriringan hanya dengan bantuan sinar senter. Selain gelap, jalan setapak juga becek.

Malam itu, sudah tiga jam lebih kami berjalan beriringan, tapi belum sampai juga di Segara Anakan. Tampang teman-teman sudah tampak lelah. Tiba-tiba hening. “Semuanya berhenti dulu,” seru salah satu teman saya. Saya dan teman-teman yang lain pun spontan menghentikan langkahnya dan berusaha melihat apa yang terjadi, ternyata ada salah satu dari kami yang kakinya kram, kami semua pun berhenti sejenak, membantu kaki kram, sebagian berhenti sekalian melepas lelah dengan seteguk air. Setalah kondisi kaki teman saya membaik, kami pun melanjutkan perjalan. Kembali berjalan beriringan lagi, dan tak lama kemudian terdengar lagi suara yang sama. “Semuanya berhenti dulu lagi,” terdengar suara seruan yang sama dari salah satu teman saya. Ternyata ada salah satu teman kami yang kelelahan karena tidak sanggup menaiki jalan yang licin dan agak menanjak, kami semua pun bersama-sama membantu dan bekerja sama menarik lengan teman saya yang kelelahan itu di jalan yang menanjak.
Haduuuh, ini perjalanannya masih lama nggak sih,” kata teman saya yang kelelahan itu sambil sedikit menangis.
“Sebentar lagi! Ayo semangat, itu di depan sudah terdengar suara deburan ombak. Suara deburan ombak menandakan kita sebentar lagi akan sampai di Segara Anakan,” kata kami serentak sambil membantu satu sama lain yang kelelahan.
Sungguh trekking yang sangat menguras tenaga, tapi karena kekompakan teman-teman akhirnya kita semua bisa sampai di Segara Anakan. Setelah lebih dari empat jam kami trekking menyusuri jalan setapak yang berlumpur, kami pun sampai di Segara Anakan. Tanpa kebersamaan dan kekompakan teman-teman, mungkin perjalanan akan terasa amat sulit dan semakin melelahkan.
Sampai di Segara Anakan hari sudah larut malam, terpaksa harus saya tunda dulu hasrat saya untuk melihat keindahan Segara Anakan sampai esok pagi.
Sesampainya di sana saya dan teman-teman langsung bahu-membahu mendirikan tenda. Satu persatu tenda didirikan, Setelah lima tenda selesai didirikan, kami semua mengeluarkan pasokan makanan dan peralatan masak untuk segera menyiapkan makan malam bersama. Masak dengan bahan dan peralatan seadanya, semua sibuk terlihat seperti koki dadakan, tak sampai setengah jam, menu ala petualang pun siap untuk disajikan. Sekejap mata, makanan ludes.
Usai makan, kami semua duduk-duduk di sekitar tenda sambil bercengkrama ria sambil melepas lelah. Gelapnya malam tidak berarti keindahan pudar. Saya tetap bisa mendengarkan suara deburan ombak yang menerpa tebing, saya juga masih bisa melihat indahnya langit yang dihiasi taburan bintang yang berkelip, saya bersantai ria beratapkan langit, diiringi musik ombak. Kami pun bergegas tidur.
Pagi itu, baru bangun tidur rasanya mata masih sayu, tapi seketika mata saya langsung segar terbuka lebar melihat alam yang selama ini hanya saya lihat dari gambar saja, dengan mata telanjang saya lihat langsung Segara Anakan sungguhan yang penuh pesona.
Pagi itu, matahari tidak bersinar terlalu terik, entah karena mendung atau karena sinar terhalang oleh tebing-tebing tinggi. Suasana pagi itu sangat sejuk sekali. Muncul rasa penasaran dalam diri saya akan tebing-tebing tinggi yang mengelilingi Segara Anakan, perlahan saya beranikan diri untuk menghampiri dan menanjaki tebing itu. Saya jalan mendekati tebing, setelah didekati ternyata tebing-tebing itu terdiri dari karang-karang yang tajam, untuk menanjaki tebing itu harus menggunakan sepatu, bila tidak, akan dikhawatirkan kaki terluka terkena karang. Perlahan saya tanjaki tebing yang agak curam itu, saya menanjaki tebing itu beriringan dengan teman-teman saya. Tidak sampai sepuluh menit saya sampai di atas tebing, lagi-lagi saya dibuat takjub! Terhampar di depan kaki saya berpijak, Samudera Hindia luas terbentang, ombaknya sangat besar.
Setelah puas menikmati pesona laut lepas dari atas tebing, saya bergegas turun kembali menuju tenda untuk menyiapkan sarapan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar