Senin, 08 Juni 2015

Karangan Ilmiah Kuantitatif

1
PENGARUH KETERSEDIAAN TENAGA KERJA, INFRASTRUKTUR,
PENDAPATAN PERKAPITA DAN SUKU BUNGA TERHADAP INVESTASI
INDUSTRI KOTA SEMARANG
Puput Wijayanti
Drs. H. Edy Yusuf AG, MSc., Ph.D
ABSTRACT
Investment is the first step to reach growth in economic activity. Further investment
will affect the dynamics of the high and low economic growth. Moreover investment
industry sector to encourage the growth of other sectors. The rate of growth of
industrial sector investment Semarang still tend to be low compared with the city of
Surakarta is still in one province of Central Java. The possibility of this is due to
factors of manpower, energy, infrastructure, income per capita and loan interest
rates.
Objectives achieved in this study determined the factors affecting investment in the
Semarang industrial sector, namely labor, infrastructure, income per capita and loan
interest rates. Analysis tools which are used in this study with the approach Error
Correction Model (ECM) using the software Eviews 6.0.
Analytical results obtained, manpower and infrastructure were not affect investment
industry sector in both short and long term. Income per capita and loan interest rates
affecting the industrial sector investment both in the long term or short term and the
most dominant variable affecting the industrial sector investment of Semarang is the
income per capita.
Keywords: Manpower, Infrastructure, income per capita, Interest Rate, Investment
Industrial, Error Correction Model (ECM).
2
A. PENDAHULUAN
Dalam teori pertumbuhan Harrod dan Domar (dalam buku Todaro, 2004)
investasi didefinisikan sebagai perubahan tingkat modal (stock) yang terjadi dalam
suatu perekonomian dimana sebagian dari pendapatan digunakan untuk tabungan.
Pergerakan arus tabungan tersebut kemudian diarahkan untuk menciptakan dana
investasi yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Investasi merupakan langkah awal dalam kegiatan ekonomi. Dinamika
investasi, selanjutnya akan mempengaruhi tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi.
Pendapatan yang ditabung dan diinvestasikan dengan tujuan memperbesar output dan
pendapatan dikemudian hari menyebabkan terjadinya akumulasi modal. Akumulasi
modal tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk membuat pabrik baru, pengadaan
mesin, peralatan dan material guna meningkatkan stok modal produktif secara fisik
suatu daerah dan memungkinkan tercapainya peningkatan output.
Peningkatan stok modal fisik dan output inilah yang terus diusahakan
khususnya oleh pemerintah dalam berbagai kebijakannya yang berkaitan dengan
investasi sebagai salah satu upaya untuk mencapai kesejahteraan. Akan tetapi dalam
upaya tersebut tidaklah mudah karena masing-masing pemerintah daerah juga harus
bersaing satu sama lain untuk menarik investasi masuk ke daerahnya.
Pada masa sekarang ini, investasi merupakan faktor yang cukup penting dalam
mendukung pertumbuhan perekonomian. Peranan investasi di Kota Semarang
memang cenderung meningkat sejalan dengan banyaknya dana yang di butuhkan
untuk melanjutkan pembangunan ekonomi. Besarnya output dari investasi juga
cenderung meningkat tiap tahunnya. Namun investasi tersebut masih lebih rendah
jika dibandingkan dengan kota lain yang ada di Jawa Tengah seperti Kota Surakarta
(Solo). Pada tahun 2009 pertumbuhan investasi industri Kota Semarang hanya
sebesar 1,84% sedangkan Kota Solo sebesar 2,94%. Berikut tabel pertumbuhan
investasi industri Kota Semarang dengan Kota Surakarta tahun 2005-2009:
3
Tabel 1
Pertumbuhan Investasi Industri 2005-2009
Tahun Kota Semarang Kota Surakarta
2005 2,10 1,47
2006 2,47 2,55
2007 2,80 3,46
2008 2,02 2,32
2009 1,85 2,94
Sumber: BPS, Kota Semarang Dalam Angka dan Kota Surakarta Dalam
Angka Tahun 2005-2009
Investasi Kota Semarang juga cenderung mengalami penurunan tiap tahun.
Dapat dilihat pada tabel di atas dari tahun 2007 laju pertumbuhan volume investasi
industri terus mengalami penurunan sampai tahun 2009. Hal ini dapat terjadi karena
adanya pengaruh dari faktor yang menghambat maupun faktor yang menarik investasi
ke Kota Semarang. Dalam upaya menarik investasi ke Kota Semarang maka perlu
disiapkan sedemikian rupa faktor-faktor yang dapat menarik investasi. Banyak faktor
penarik yang mempengaruhi investasi industri. Kemungkinan faktor tersebut antara
lain ketersediaan tenaga kerja, kualitas infrastruktur yang baik, pendapatan perkapita
yang tinggi dan tingkat suku bunga pinjaman yang rendah
Dari uraian di atas maka perumusan masalah penelitian ini adalah masih
rendahnya investasi di Kota Semarang dibandingkan dengan Kota lain yang ada di
Jawa Tengah seperti Kota Surakarta. Rendahnya tingkat investasi ini kemungkinan
dipengaruhi oleh tenaga kerja, infrastruktur, pendapatan perkapita dan tingkat suku
bunga.
Dari latar belakang di atas, penulis ingin mengkaji variabel yang dapat
mempengaruhi investasi industri sehingga dapat dikaji nantinya prioritas kebijakan
yang tepat untuk mengatasi permasalahan-permasalahan investasi yang ada di Kota
Semarang khususnya investasi industri. Faktor-faktor yang di teliti dalam hal ini
4
adalah faktor ketenagakerjaan, pendapatan per kapita, infrastruktur dan tingkat suku
bunga kredit.
B. TELAAH PUSTAKA
1. Teori Investasi
Investasi dalam ekonomi makro biasa diartikan sebagai pengeluaran
masyarakat untuk memperoleh alat-alat kapital baru. Oleh karena investasi
total yang terjadi dalam suatu perekonomian sebagian berupa pembelian
alat-alat kapital baru untuk menggantikan alat-alat kapital yang sudah tidak
ekonomis untuk di pakai lagi dan sebagian lagi berupa pembelian alat-alat
kapital baru untuk memperbesar stok kapital. Soediyono (1995, h.180).
Investasi secara teoritis oleh Michael Todaro (2000. Jilid 2: 388)
mendefinisikan investasi atau penanaman modal yaitu:
Bagian dari total pendapatan nasional (national income) atau
pengeluaran nasional (national expenditure) yang secara khusus
diperuntukkan memproduksi barang-barang kapital atau modal pada suatu
periode tertentu.
Kemudian investasi bruto mengacu pada pengeluaran total untuk barangbarang
modal yang baru, sedangkan investasi neto diartikan sebagai tambahan barang
modal yang dihasilkan setelah proses pengurangan nilai ekonomis yang berkurang
karena pemakaian dan membutuhkan barang pengganti. Teori investasi merupakan
salah satu bagian yang sering menjadi faktor dalam berbagai teori pembangunan,
seperti salah satu contoh di atas adalah teori pertumbuhan Harrod-Dommar di mana
investasi merupakan penggerak atau akselerator pertumbuhan ekonomi dan
meningkatkan pendapatan nasional.
Menurut Sukirno (2000, h.69), Investasi didefinisikan sebagai:
Pengeluaran-pengeluaran untuk membeli barang-barang modal dan
peralatan-peralatan produksi dengan tujuan untuk mengganti dan terutama
5
menambah barang-barang modal dalam perekonomian yang akan digunakan
untuk memproduksi barang dan jasa dimasa depan.
Dengan kata lain investasi merupakan kegiatan perbelanjaan untuk
meningkatkan kapasitas memproduksi sesuatu dalam perekonomian.
Sedangkan menurut Deliarnov (1995, h.123) investasi merupakan:
Pengeluaran perusahaan secara keseluruhan yang mencakup
pengeluaran untuk membeli bahan baku atau material, mesin-mesin dan
peralatan pabrik serta semua modal lain yang diperlukan dalam proses
produksi, pengeluaran untuk keperluan bangunan kantor, bangunan tempat
tinggal karyawan dan bangunan konstruksi lainnya, juga perubahan nilai stok
atau barang cadangan sebagai akibat dari perubahan jumlah dan harga.
a. Jenis-jenis investasi berdasarkan kekhususan tertentu dari kegiatannya di bagi
dalam beberapa kelompok yaitu (Harapan, 2009:18):
1. Investasi Baru
Investasi baru yaitu investasi bagi pembuatan sistem produksi baru,
baik sebagai bagian dari usaha baru untuk produksi baru maupun perluasan
produksi, tetapi harus menggunakan sistem produksi baru.
2. Investasi Peremajaan
Investasi jenis ini umumnya hanya digunakan untuk mengganti
barang-barang kapital lama dengan yang baru, tetapi masih dengan kapasitas
dan ongkos produksi yang sama dengan alat yang digantikannya.
3. Investasi Rasionalisasi
Pada kelompok ini peralatan yang lama diganti oleh yang baru tetapi
dengan ongkos produksi yang lebih murah, walaupun kapasitas sama
dengan yang digantikannya.
6
4. Investasi Perluasan
Dalam kelompok investasi ini peralatannya baru sebagai pengganti
yang lama. Kapasitasnya lebih besar sedangkan ongkos produksi masih
sama.
5. Investasi Modernisasi
Investasi ini digunakan untuk memproduksi barang baru yang
memang proses baru, atau memproduksi lama dengan proses yang baru.
6. Investasi Diversifikasi
Investasi ini untuk memperluas program produksi perusahaan
tertentu, sesuai dengan program diversifikasi kegiatan usaha korporasi yang
bersangkutan.
b. Jenis-jenis investasi berdasarkan dari pelaku terbagi dua, yaitu :
7. Autonomous Investment (Investasi Otonom)
Investasi otonom merupakan investasi yang besar kecilnya tidak
dipengaruhi oleh pendapatan nasional. Artinya tinggi rendahnya pendapatan
nasional jumlah investasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan.
Investasi ini dilakukan oleh pemerintah (Public Investment) karena
disamping biayanya sangat besar, investasi ini juga tidak memberikan
keuntungan maka swasta tidak bisa melakukan investasi jenis ini karena
tidak memberikan investasi langsung.
8. Indused Investment ( Investasi Dorongan)
Investasi dorongan adalah investasi yang besar kecilnya sangat
dipengaruhi oleh tingkat pendapatan baik pendapatan daerah maupun
pendapatan pusat atau nasional. Investasi ini diadakan akibat adanya
pertambahan permintaan, dimana pertambahan permintaan tersebut sebagai
akibat dari pertambahan pendapatan.
Apabila pendapatan berubah maka permintaan akan digunakan untuk
tambahan konsumsi sedangkan pertambahan konsumsi pada dasarnya
7
adalah tambahan permintaan dan jika ada tambahan permintaan maka akan
mendorong berdirinya pabrik baru atau memperluas pabrik lama untuk
dapat memenuhi tambahan permintaan tersebut.
2. Tenaga Kerja Kaitannya dengan Investasi
Istilah tenaga kerja (man power) adalah besarnya bagian dari penduduk yang
dapat diikutsertakan dalam proses ekonomi. Tenaga kerja juga didefinisikan sebagai
“penduduk berumur 10 tahun atau lebih yang bekerja, mencari pekerjaan, dan
sedang melakukan kegiatan lain, seperti sekolah maupun mengurus rumah tangga
dan penerima pendapatan” (Simanjuntak, 1985 : 45)
Di Indonesia yang dimaksud dengan angkatan kerja adalah “penduduk yang
berusia 15 tahun ke atas yang secara aktif melakukan kegiatan ekonomis” (Badan
Pusat Statistik 1983). Sedangkan menurut Ida Bagus Mantra (2000:225) bahwa:
Angkatan Kerja terdiri dari penduduk yang bekerja, mempunyai
pekerjaan tetap tetapi sementara tidak bekerja dan tidak mempunyai
pekerjaan sama sekali tapi mencari pekerjaan secara aktif. Mereka yang
berumur 15 tahun atau tidak bekerja atau tidak mencari pekerjaan karena
sekolah, mengurus rumah tangga, pension, atau secara fisik dan mental tidak
memungkinkan untuk bekerja tidak dimasukkan dalam angkatan kerja.
Banyak sedikitnya angkatan kerja tergantung komposisi penduduknya.
Kenaikan jumlah penduduk terutama penduduk golongan usia kerja akan
menghasilkan angkatan kerja yang banyak pula. Angkatan kerja yang banyak itu
diharapkan mampu memacu pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya akan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Todaro (2000 : 124-130) “ada tiga faktor atau komponen utama
yang berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi suatu daerah, salah satunya adalah
pertumbuhan penduduk”.
8
Dalam model sederhana tentang pertumbuhan ekonomi, pada umumnya
pengertian tenaga kerja diartikan sebagai angkatan kerja yang bersifat homogen.
Menurut Lewis (dalam Todaro 2004, h.93), angkatan kerja yang homogen dan tidak
terampil dianggap bisa bergerak dan beralih dari sektor tradisional ke sektor modern
secara lancar dan dalam jumlah tidak terbatas. Dalam keadaan demikian, peranan
tenaga kerja mengandung sifat elastisitas yang tinggi. Meningkatnya permintaan atas
tenaga kerja (dari sektor tradisional) bersumber pada ekspansi kegiatan sektor
modern. Dengan demikian salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan
ekonomi adalah tenaga kerja.
Jumlah tenaga kerja yang besar dapat berarti menambah jumlah tenaga
produktif. Dengan meningkatnya produktivitas tenaga kerja diharapkan akan
meningkatkan produksi.
Menurut Nicholson W (1991, h.157) bahwa:
Suatu fungsi produksi pada suatu barang atau jasa tertentu (q)
adalah q = f (K,L) dimana K merupakan modal dan L adalah tenaga kerja
memperlihatkan jumlah maksimum sebuah barang/jasa yang dapat
diproduksi dengan menggunakan kombinasi alternatif antara K dan L, maka
apabila salah satu masukan ditambah satu unit tambahan dan masukan
lainnya dianggap tetap akan menyebabkan tambahan keluaran yang dapat
diproduksi (produk fisik marginal).
Produktivitas tenaga kerja itu sendiri akan sangat berperan penting dalam
perkembangan investasi khususnya sektor industri. Semakin tinggi produktivitas
maka dampaknya akan semakin baik terhadap perkembangan investasi, begitu juga
sebaliknya, tenaga kerja yang tidak produktif akan mengakibatkan biaya produksi
menjadi tinggi yang akan merugikan perusahaan itu sendiri.
Menurut Sitompul (2008, h.7), secara singkat terdapat dua masalah
ketenagakerjaan yang mempengaruhi minat investasi yaitu :
9
(a) kecenderungan peningkatan upah minimum yang tinggi dan besarnya
biaya-biaya non-UMP serta (b) ketidakpastian hubungan industrial antara
perusahaan dan tenaga kerja. Kedua masalah ini mengakibatkan biaya yang
berkaitan dengan biaya produksi yang menjadi tinggi.
Hal ini juga didukung oleh Makmun (2004, h.12) yaitu: “Ketersediaan tenaga
kerja menjadi salah satu pertimbangan bagi investor untuk menanamkan modalnya”.
Jelaslah memang faktor tenaga kerja merupakan faktor yang cukup penting
dalam usaha meningkatkan investasi. Hal ini disebabkan faktor tenaga kerja
dipandang sebagai suatu faktor produksi yang mampu untuk meningkatkan daya guna
faktor produksi lainnya (mengolah bahan mentah, memanfaatkan modal dsb)
sehingga perusahaan memandang tenaga kerja sebagai faktor penting dalam
mendukung investasinya.
3. Infrastruktur Kaitannya dengan Investasi
Investasi merupakan faktor penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi.
Permintaan akan masuknya investasi ke suatu negara atau daerah juga di pengaruhi
oleh beberapa hal. Salah satu yang menjadi pertimbangan penting adalah faktor
infrastruktur dimana faktor ini dapat mempengaruhi kelancaran distribusi output
kepada konsumen.
“Pekerja akan lebih produktif jika mereka mempunyai alat-alat untuk bekerja.
Peralatan dan infrastruktur yang di gunakan untuk menghasilkan barang dan jasa di
sebut modal fisik” (Mankiw, 2004:57). Hal senada juga dikemukakan Todaro (2000:
143) “menjelaskan bahwa tingkat ketersediaan infrastruktur di suatu Negara adalah
faktor penting dan menentukan bagi tingkat kecepatan dan perluasan pembangunan
ekonomi”. Studi Permana dan Alla (2010: 16) menunjukan bahwa “variabel
infrastruktur termasuk panjang jalan beraspal berpengaruh terhadap investasi”.
Dengan baiknya infrastruktur, yang dalam penelitian ini dilihat dari panjang jalan
10
yang dalam keadaan baik, maka proses produksi sampai distribusi kepada konsumen
akan lebih singkat sehingga kegiatannya menjadi efisien.
Jika keadaan infrastruktur masih belum mengalami perbaikan yang signifikan
bahkan cenderung mengalami penurunan maka hal ini diduga menjadi salah satu
penyebab rendahnya daya saing dan daya tarik investasi. Sejalan dengan hal tersebut,
Firdaus 2008 dalam (Permana dan Alla 2010:18) mengemukakan bahwa “suplai
tenaga listrik dan infrastruktur sosial berpengaruh signifikan terhadap daya tarik
investasi pada suatu wilayah.”
4. Pendapatan per Kapita Kaitannya dengan Investasi
Pada hakikatnya pendapatan nasional merupakan gabungan dari seluruh
pendapatan rumah tangga dalam perekonomian. Pendapatan rumah tangga diperoleh
sebagai balas jasa atas faktor produksi yang telah diberikan dari rumah tangga atau
penyedia faktor produksi (tenaga kerja) kepada perusahaan dalam perekonomian dua
sektor. Namun pada kenyataannya pendapatan nasional tidak bisa disamakan dengan
pendapatan rumah tangga, menurut Sadono Sukirno (1999:47) terdapat 2 faktor yang
menyebabkan keadaan tersebut yaitu:
Pertama sebagian pendapatan rumah tangga diperoleh bukan dari
penawaran faktor-faktor produksi, sebagai contohnya adalah beasiswa, dan
pendapatan berupa dana pensiun. Kedua, pendapatan faktor-faktor produksi
sebagian tidak dibayarkan kepada rumah tangga. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pendapatan yang diterima rumah tangga sebenarnya
sama dengan pendapatan nasional dikurangi dengan pendapatan faktor
yang tidak dibayarkan kepada rumah tangga ditambah dengan pendapatan
rumah tangga yang bukan berasal dari penawaran faktor produksi sehingga
pendapatan pribadi adalah pendapatan yang diterima seluruh rumah tangga
dalam perekonomian dari pembayaran ke atas penggunaan faktor-faktor
produksi yang dimilikinya dan dari sumber lain.
11
Dalam pendapatan rumah tangga terdapat tiga komponen dari pendapatan
faktor-faktor produksi yang tidak diterima oleh rumah tangga, yaitu (i) pajak
keuntungan perusahaan korporat; (ii) keuntungan yang tidak dibagi, serta; (iii)
kontribusi untuk dana pengangguran. Sedangkan untuk pendapatan yang diterima di
luar pendapatan dari penawaran faktor produksi diperoleh dari : (i) pembayaran
pindahan (transfer payment), dan ; (ii) pendapatan pribadi dari bunga.
Pendapatan pribadi merupakan komponen dalam pendapatan rumah tangga di
mana pendapatan rumah tangga dibentuk dari gabungan pendapatan pribadi anggotaanggota
rumah tangga. Pendapatan yang diperoleh rumah tangga belum dikatakan
dapat digunakan sepenuhnya untuk konsumsi maupun keperluan lain. Hal ini timbul
dikarenakan adanya faktor pajak dibebankan pada pendapatan rumah tangga sehingga
sebagian pendapatan digunakan untuk membayar pajak dan sebagian pendapatan
rumah tangga yang digunakan untuk konsumsi dan keperluan lain disebut sebagai
pendapatan disposibel. Dengan kata lain pendapatan disposibel merupakan
pendapatan rumah tangga yang siap dibelanjakan.
Masalah dalam pembentukan modal dapat di tinjau dari sudut penawaran
maupun dari sudut permintaan akan modal. Dari sudut penawaran, pembentukan
modal berhubungan dengan kemampuan masyarakat untuk menabung, tabungan
kemudian di pakai untuk investasi dan pembentukan modal. Sedangkan dari sudut
permintaan pembentukan modal bertalian dengan ada tidaknya daya tarik bagi
usahawan atau wiraswasta untuk mempergunakan barang-barang modal dalam proses
produksi.
Menurut Mudrajad Kuncoro (2004:203):
Pendapatan perkapita merupakan indikator untuk melihat daya beli
suatu daerah. Pendapatan perkapita yang tinggi pada suatu daerah artinya
daya beli masyarakat daerah tersebut juga tinggi. Hal ini berarti menunjukan
pasar domestik yang efektif terutama untuk berinvestasi. Oleh karena itu
12
pendapatan perkapita suatu daerah juga merupakan salah satu hal yang
dipertimbangkan para investor untuk berinvestasi.
Melihat dari pernyataan di atas, maka faktor pendapatan perkapita sangatlah
penting pengaruhnya dalam mempengaruhi tabungan di masyarakat yang nantinya di
gunakan untuk investasi baru. Dengan semakin tingginya pendapatan seseorang maka
ada kecenderungan untuk menambah besar tabungan di bandingkan untuk konsumsi.
Dalam hubungan dengan pembentukan modal, Negara-negara sedang
berkembang seolah terjebak pada lingkaran yang tak berujung pangkal. Dari sudut
penawaran modal dapat di gambarkan bahwa kekurangan modal di sebabkan karena
kemampuan yang rendah dalam menabung sedangkan tabungan yang rendah di
akibatkan dari pendapatan yang rendah. Pendapatan yang rendah merupakan indikasi
bahwa produktivitas yang rendah pula. Sedangkan produktivitas yang rendah
sebagian besar di akibatkan karena kekurangan modal. Kekurangan modal tersebut
merupakan suatu akibat dari tabungan yang rendah. Jadi jelaslah bahwa pendapatan
perkapita merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi investasi.
5. Suku Bunga Kaitannya dengan Investasi
“Pengertian suku bunga adalah harga dari meminjam uang untuk
menggunakan daya belinya, dan biasanya dinyatakan dalam persen (%)” Harapan
(2009:19).Bagi orang yang meminjam uang, bunga merupakan denda yang
dibayarkan untuk mengkonsumsi penghasilan sebelum diterima. Bagi orang yang
memberikan pinjaman, bunga merupakan imbalan karena menunda konsumsi
sekarang hingga waktu dari piutang.
Terdapat berbagai teori mengenai tingkat suku bunga, teori-teori tersebut
antara lain:
a. Teori Suku Bunga Aliran Klasik
Teori suku bunga aliran klasik dinamakan “The pure theory of
interest”. Menurut teori ini, tinggi rendahnya tingkat suku bunga ditentukan
13
oleh permintaan dan penawaran akan modal. Jadi bunga modal yang telah
dianggap sebagai harga dari kesempatan penggunaan modal. Sama seperti
harga barang-barang dan jasa-jasa, tinggi rendahnya ditentukan oleh
permintaan dan penawaran, demikian pula tinggi rendahnya bunga modal
ditentukan oleh permintaan dan penawaran akan modal.
b. Teori Suku Bunga Aliran Neoklasik
Menurut kaum neoklasik suku bunga ditentukan dalam teori leonable
funds. Penawaran akan leonable funds menurut teori neoklasik adalah fungsi
dari suku bunga. Penawaran ini berasal dari anggota masyarakat yang
bertindak sebagai penabung, dengan demikian semakin tinggi suku bunga
semakin tinggi pula keinginan masyarakat untuk menabung, artinya pada
tingkat suku bunga yang lebih tinggi, masyarakat akan mengurangi konsumsi
untuk mendapatkan keuntungan dari suku bunga yang lebih tinggi.
Sebaliknya, apabila suku bunga lebih rendah maka semakin sedikit dana
masyarakat yang akan di tabung.
Permintaan akan loanable fund juga tergantung dari suku bunga.
Investor akan meningkatkan investasinya jika mengharapkan menerima
tingkat hasil balik dari hasil investasi yang lebih besar dari suku bunga yang
harus dibayarkan atas penggunaan dana tersebut. Sumber kemampuan
investor untuk membayar bunga berasal dari keuntungan usahanya. Oleh
karena itu, semakin rendah suku bunga maka respon investor akan lebih tinggi
untuk melakukan investasi, sebab biaya penggunaan dana akan semakin lebih
kecil.
c. Teori Suku Bunga dari J.M.Keynes
Teori ini dikemukakan oleh Keynes dan dinamakan “Liquidity
Preference Theory of Interest”. Menurut Keynes bahwa suku bunga
ditentukan oleh permintaan dan penawaran uang yang ditentukan dalam pasar
uang. Permintaan uang menurut Keynes berlandaskan pada konsepsi bahwa
14
orang pada umumnya mempunyai keinginan dirinya tetap liquid untuk
memenuhi motif-motif memegang uang. Preferensi atau keinginan untuk tetap
liquid inilah yang membuat orang bersedia membayar harga tertentu untuk
penggunaan uangnya. Jadi menurut Keynes, tingkat bunga ditentukan oleh
permintaan dan penawaran uang.
d. Fungsi Tingkat Suku Bunga dalam Perekonomian
Tingkat suku bunga memiliki beberapa fungsi atau peran penting
dalam perekonomian Harapan (2009:22), yaitu :
1) Membantu mengalirnya tabungan berjalan kearah investasi guna mendukung
pertumbuhan ekonomi.
2) Mendistribusikan jumlah kredit yang tersedia, pada umumnya memberikan
dana kredit kepada proyek investasi yang menjanjikan hasil tertinggi.
3) Menyeimbangkan jumlah uang beredar dengan permintaan akan uang dari
suatu negara.
4) Merupakan alat penting menyangkut kebijakan pemerintah melalui
pengaruhnya terhadap jumlah tabungan dan investasi.
Dalam kegiatan perbankan terdapat 2 (dua) macam bunga yang diberikan
nasabahnya yaitu Harapan (2009:24) :
a) Bunga Simpanan yaitu bunga yang diberikan sebagai rangsangan atau balas jasa
bagi nasabah yang menyimpan uangnya di bank. Bunga simpanan merupakan
harga yang harus dibayar bank kepada nasabahnya. Sebagai contoh jasa giro,
bunga tabungan, bunga deposito.
b) Bunga pinjaman yaitu bunga yang diberikan kepada para peminjam atau harga
yang harus dibayar oleh nasabah peminjam kepada bank. Sebagai contoh bunga
kredit.
Tingkat suku bunga di Indonesia yang paling umum didasarkan atas jangka
waktu. Tingkat bunga perbankan untuk deposito berjangka dibedakan atas jangka
15
waktu 1 (satu) bulan, 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, 12 (duabelas) bulan, dan 24 (dua
puluh empat) bulan, baik untuk mata uang lokal (rupiah) maupun valuta asing.
Naik turunnya tingkat suku bunga dipengaruhi oleh penawaran dan
permintaan uang. Tingkat suku bunga cenderung naik/ meningkat apabila permintaan
debitur/ peminjaman lebih besar daripada jumlah uang atau dana yang ditawarkan
kreditur. Sebaliknya, tingkat suku bunga cenderung menurun apabila permintaan
debitur lebih kecil daripada jumlah uang atau dana yang ditawarkan kreditur.
Menurut Suparmoko (1990:26) “Keputusan untuk mengadakan investasi erat
kaitannya dengan tingkat suku bunga pinjaman yang berlaku”. Lebih lanjut
Suparmoko menambahkan bahwa:
Investasi dalam hal ini merupakan penanaman modal oleh
perusahaan untuk membeli barang-barang capital yang baru seperti mesin
dan peralatan lainnya, pabrik-pabrik, toko-toko, alat angkutan, gudang dan
lain sebagainya.
Hal ini semua tergantung pada apakah tingkat keuntungan yang di harapkan
dari investasi tersebut lebih besar atau lebih kecil daripada tingkat bunga yang harus
dibayar untuk dana yang di pinjam guna keperluan investasi tersebut. Meskipun dana
tersebut sudah tersedia, keputusan itu harus di buat berdasarkan berbagai alternative
penggunaan dana. Apakah untuk membeli peralatan kapital yang baru atau dibelikan
obligasi.
Seperti dibahas di atas bahwa investasi akan mengalami kenaikan dalam
jumlahnya apabila suku bunga pinjaman turun. Sebaliknya, apabila suku bunga
pinjaman mengalami kenaikan maka investasi akan berkurang. Dalam hal ini
investasi dapat berupa pembelian barang-barang kapital maupun pembelian surat
obligasi.
16
C. METODE PENELITIAN
1. Variabel Dependen
Investasi di sektor industri di ukur dengan menggunakan besarnya industri
pengolahan dalam PDRB Kota Semarang menurut harga konstan berdasarkan tahun
2000.
2. Variabel Independen
Variabel independen adalah variabel yang nilainya berpengaruh terhadap
variabel lain. Yang menjadi variabel independen dalam penelitian ini adalah:
1. Tenaga Kerja
Tenaga kerja dinyatakan dengan banyaknya penduduk angkatan kerja yang telah
bekerja di sektor industri.
2. Infrastruktur
Infrastruktur dinyatakan dengan panjangnya jalan yang yang berada pada kondisi
yang baik sehingga dapat membantu lancarnya kegiatan produksi.
3. Suku bunga
Suku bunga di nyatakan dengan besarnya suku bunga pinjaman kredit di bank
umum.
4. Pendapatan perkapita
Ekonomi daerah yang dinyatakan dengan pendapatan per kapita besarnya
pendapatan yang telah di terima masyarakat dalam Kota Semarang Dalam Angka.
3. Metode Analisis
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model data
runtut waktu (time series). Data runtut waktu merupakan data yang di peroleh dari
berbagai tahun dimana data yang digunakan dalam penelitian ini dari tahun 1990-
2009.
17
Model yang digunakan dalam penelitian ini merupakan model ekonometrika
dengan spesifikasi model sebagai berikut :
Y = f (X1, X2, X3, X4)
Dimana :
Y = Investasi Industri
X1 = Tenaga Kerja
X2 = Infrastruktur
X3 = Pendapatan perkapita
X4 = Suku Bunga
Oleh karena adanya peranan waktu yang membuat pengaruh dari variabelvariabel
independen terhadap variabel dependen berbeda, maka penelitian ini juga
menganalisis pengaruh pada kedua periode waktu tersebut. Dengan demikian, analisis
yang dilakukan meliputi analisis kointegrasi dan ECM (Error Correction Model).
D. HASIL PENELITIAN
1. Uji Akar Unit
Tabel 1
Hasil Uji Unit Root ADF Test
Variabel Hasil Uji Tingkat
Level
Hasil Uji 1st Difference
Y (Investasi Industri) 0,9615 0,0050
X1 (Tenaga Kerja) 0,3754 0,0003
X2 (Infrastruktur) 0,7363 0,0141
X3 (Pendapatan perkapita) 0,8689 0,0025
X4 (Suku Bunga) 0,3732 0,0523
18
Variabel tergantung atau variable Y stasioner dengan tingkat probabilitas
sebesar 0,0050. Sedangkan variable X1 sebesar 0,0003, X2 sebesar 0,0141, X3 sebesar
0,0025 dan X4 sebesar 0,0523. Variabel X4 stasioner pada diferensiasi tingkat kedua
yaitu sebesar 0,0009.
2. Uji Asumsi Klasik
a. Multikolinearitas
Tabel 2
Pendekatan Koutsiyannis
Persamaan Jangka Panjang Jangka Pendek
X1 (Tenaga Kerja) 0.755389 0.048768
X2 (Infrastruktur) 0.400439 0.007094
X3 Pendapatan Perkapita 0.966498 0.336985
X4 (Suku Bunga) 0.658024 0.113898
Berdasarkan tabel di atas maka jika dibandingkan R2 pada regresi dengan
empat variabel untuk jangka panjang adalah 0,96 sedangkan jangka pendek R2
sebesar 0,61 sehingga R2 regresi empat variabel memiliki nilai yang lebih tinggi
daripada nilai R2 pada regresi dengan masing-masing variabel bebas. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa dalam jangka panjang maupun jangka pendek variabel tidak
mengandung multikoleniaritas.
b. Heteroskedastisitas
Pendeteksian terhadap pelanggaran heteroskedastisitas dalam model ini
digunakan uji White dengan bantuan program Eviews 6.0. Jika nilai Obs *R2 < χ
2
maka tidak signifikan secara statistik. Berarti hipotesis yang menyatakan bahwa
model empirik tidak terdapat masalah heteroskedastisitas tidak ditolak.
19
Hasil pengujian model dalam penelitian ini di dapat nilai Obs * R2 sebesar
18,04174 sedangkan pada tabel χ
2 dengan df 20 dan α = 5% sebesar 31,4. Hal ini
berarti nilai Obs*R2 < χ
2 sehingga model tidak terdapat heteroskedastisitas.
Sedangkan pengujian kedua dengan menggunakan uji ARCH. Hal ini juga
dilakukan agar hasil yang didapatkan benar-benar valid. Hasil pengujian ARCH
adalah sebagai berikut:
a. Jangka panjang : (df=1, α=5%) = 3,84 > 0.002237= tidak ada
heteroskedastisitas
b. Jangka pendek : (df=1, α=5%) = 3,84 > 0.000323= tidak ada
heteroskedastisitas
c. Autokorelasi
Pengujian untuk mendeteksi adanya autokorelasi dalam model ini dilakukan
dengan Serial Correlation LM Test. Jika nilai probabilitas lebih besar dari
probabilitas 5%, maka hipotesis yang menyatakan pada model tidak terdapat
autokorelasi tidak ditolak. Berarti model lolos dari masalah autokorelasi.
Hasil pengujian dalam penelitian ini menunjukan bahwa nilai probabilitasnya
untuk jangka panjang sebesar 0,299123 > 0,05 sehingga model tidak terdapat masalah
autokorelasi. Dalam jangka pendek nilai probabilita sebesar 0.38688 > 0,05 sehingga
juga tidak terdapat autokorelasi.
3. Uji Kointegrasi
Tabel 3
Hasil Uji Kointegrasi
Variabel Probabilitas
X1 (Tenaga Kerja) 0,5264
X2 (Infrastruktur) 0,0765
X3 (Pendapatan Perkapita0 0,0000
X4 (Suku Bunga) 0,0001
20
Variabel X1 dapat dikatakan tidak signifikan karena nilai probabilita sebesar
0,5264 lebih besar dari taraf signifikan yaitu 5%, begitu juga dengan variabel X2
dengan nilai probabilita sebesar 0,0765 > 0,05 sehingga tidak signifikan. Sedangkan
variabel X3 dan X4 dengan nilai probabilita masing-masing sebesar 0,000 dan 0,0001
lebih besar dari 0,05 sehingga kedua variabel tersebut signifikan.
4. ECM
Tabel 4
Hasil Analisis ECM
Variabel Hasil Analisis ECM
X1 (Tenaga Kerja) 0,6619
X2 (Infrastruktur) 0,1720
X3 (Pendapatan Perkapita) 0,0010
X4 (Suku Bunga) 0,0130
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa tidak semua variabel bebas signifikan
dalam pengujian ECM. Dari empat variabel yang diuji hanya variabel x3 dan x4 yang
signifikan dengan probabilitas 0,0000 dan 0,0001. Sedangkan variabel lain yaitu x1
dan x2 nilai probabilitasnya sebesar 0,6619; 0,1720 yang artinya tidak signifikan jika
dibandingkan dengan taraf signifikansi sebesar 5%.
5. Uji Hipotesis
1) Uji F
F tabel diperoleh dengan menggunakan critical value sebesar 5% dan nilai F
tabel sebesar 2,87 untuk jangka panjang dan 2,90 untuk jangka pendek. Untuk lebih
rinci, berikut adalah ringkasan hasil F hitung tiap-tiap persamaan.
21
Tabel 5
Uji F
Persamaan F hitung F tabel Keterangan
Jangka Panjang 104.9004 2,87 Berpengaruh
Jangka Pendek 5.448897 2,90 Berpengaruh
2) Uji t
Nilai critical value yang digunakan adala α=5%, dan nilai t tabel adalah sebesar
1,725 untuk jangka panjang dan 1,729 untuk jangka pendek. Perhitungan t tabel
diperoleh dengan derajat kebebasan (df) jangka panjang adalah 20 dan jangka pendek
(n-1) yaitu 19.
Tabel 6
t Hitung Variabel Independen Jangka Panjang
Variabel t hitung t tabel Keterangan
X1 (Tenaga Kerja) 0.648534 1,729 Berpengaruh
X2 (Infrastruktur) -1.902657 1,729 Berpengaruh
X3 (Pendapatan
Perkapita)
5.972313 1,729 Berpengaruh
X4 (Suku Bunga) -5.117046 1,729 Berpengaruh
Tabel 7
t Hitung Variabel Independen Jangka Pendek
Variabel t hitung t tabel Keterangan
X1 (Tenaga Kerja) -0.446762 1,725 Berpengaruh
X2 (Infrastruktur) -1.439603 1,725 Berpengaruh
X3 (Pendapatan
Perkapita)
4.120054 1,725 Berpengaruh
X4 (Suku Bunga) -2.843863 1,725 Berpengaruh
22
6. Interpretasi Data
a) R2
Berdasarkan hasil estimasi diperoleh bahwa nilai R2 adalah sebesar
0.965486 untuk jangka panjang yang berarti sebesar 0,96% variasi perubahan
investasi industri di Kota Semarang dapat dijelaskan atau dipengaruhi oleh variasi
perubahan tenaga kerja, infrastruktur, pendapatan perkapita dan suku bunga.
Sedangkan untuk jangka pendek diperoleh R2 sebesar 0,61 yang artinya
sebesar 0,61% perubahan investasi industri dalam jangka pendek dipengaruhi atau
dijelaskan oleh variasi perubahan faktor tenaga kerja, infrastruktur, pendapatan
perkapita dan suku bunga.
b) Pengaruh Tenaga Kerja terhadap Investasi Industri
Dari analisis data dapat disimpulkan bahwa tenaga kerja tidak
mempengaruhi investasi industri di Kota Semarang.
investasi industri di Kota Semarang karena sebagian besar tenaga kerja
tersebut hanya terserap pada industri besar dan sedang. Sedangkan industri kecil
dan industri rumah tangga tidak banyak menyerap tenaga kerja bahkan cenderung
hanya mempekerjakan anggota keluarga yang dimiliki. Hasil analisis pengaruh
variabel tenaga kerja terhadap investasi industri besar dan sedang, kecil serta
rumah tangga adalah sbb:
Tabel 8
Tabel Perbandingan Pengaruh Variabel Tenaga Kerja terhadap Investasi
Industri Kota Semarang
Jenis Industri Jangka
Panjang
Jangka
Pendek
Taraf
Signifikan
Keterangan
Industri Besar dan
Sedang
0,0142 0,0110 0,05 Signifikan
Industri Kecil 0,1089 0,0870 0,05 Signifikan
Industri RT 0,2253 0,1274 0,05 Signifikan
23
c. Pengaruh Infrastruktur terhadap Investasi Industri
Pengaruh variabel infrastruktur dalam penelitian ini menunjukan bahwa
variabel ini tidak mempengaruhi investasi industri Kota Semarang baik dalam jangka
panjang maupun dalam jangka pendek.
Hasil ini disebabkan karena pertumbuhan akan perbaikan pelayanan
infrastruktur yaitu berupa kondisi jalan dalam dua puluh tahun tidak banyak
menunjukan perkembangan. Ini berarti pertumbuhan infrastruktur sangat jauh lebih
kecil jika dibandingkan pertumbuhan investasi industri di Kota Semarang. Tahun
1990 panjang jalan dengan kondisi baik sepanjang 642,472 km hanya mengalami
peningkatan pada tahun 2009 menjadi sebesar 1.222,9 km. Sedangkan pertumbuhan
investasinya tercatat dari tahun 1990 sebesar 236.942.135 rupiah menjadi
5.465.109.040 rupiah pada tahun 2009.
Selain itu infrastruktur di Kota Semarang lebih bersifat inelastis artinya dalam
keadaan bagaimanapun jalan akan tetap digunakan masyarakat karena merupakan
satu-satunya akses yang ada menuju satu tujuan tertentu.
d. Pengaruh Pendapatan Perkapita terhadap Investasi Industri
Pengaruh pendapatan perkapita terhadap investasi industri berdasarkan hasil
analisis data adalah secara positif berpengaruh dalam jangka panjang maupun dalam
jangka pendek. Hal ini karena pendapatan per kapita dan PDRB perkapita merupakan
cermin dari daya beli masyarakat atau pasar. Makin tinggi daya beli masyarakat suatu
negara atau daerah (yang dicerminkan oleh pendapatan nasional per kapita atau
PDRB perkapita) maka akan makin menarik negara atau daerah tersebut untuk
berinvestasi.
24
e. Pengaruh Tingkat Suku Bunga Pinjaman terhadap Investasi Industri
Hasil analisis data menunjukan bahwa dalam jangka panjang dan jangka
pendek suku bunga secara statistik berpengaruh terhadap investasi. suku bunga
merupakan faktor yang sangat penting dalam menarik investasi karena sebagian besar
investasi biasanya dibiayai dari pinjaman bank. Jika suku bunga pinjaman turun maka
akan mendorong investor untuk meminjam modal dan dengan pinjaman modal
tersebut maka ia akan melakukan investasi.
E. PENUTUP
Berdasarkan hasil analisis data dan interpretasi secara ekonomi, kesimpulan
yang dapat diambil adalah sebagai berikut:
a. Variabel tenaga kerja tidak mempengaruhi investasi industri di Kota Semarang
dalam jangka panjang maupun dalam jangka pendek. Temuan ini berbeda dengan
hipotesis yang telah dipaparkan sebelumnya yaitu tenaga kerja akan
mempengaruhi investasi industri di Kota Semarang. Hal ini terjadi karena
berdasarkan data yang diperoleh pertumbuhan jumlah tenaga kerja yang bekerja
di sektor industri terus meningkat akan tetapi investasi industri justru mengalami
penurunan sehingga kenaikan tenaga kerja tidak mampu mempengaruhi investasi
industri Kota Semarang.
b. Variabel Infrastruktur
Dalam pengujian diperoleh bahwa infrastruktur tidak mempengaruhi investasi
industri Kota Semarang dalam jangka panjang dan jangka pendek. Hal ini
disebabkan pertumbuhan infrastruktur jauh lebih kecil dibandingkan dengan
pertumbuhan investasi industri Kota Semarang. Selain itu juga disebabkan
infrastruktur yang ada di Kota Semarang sudah tidak dapat ditambah lagi atau
dapat dikatakan sudah penuh.
25
c. Variabel Pendapatan perkapita
Pendapatan perkapita secara signifikan mempengaruhi investasi industri baik
dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Pengaruh ini melalui daya beli
domestik yang tercipta jika pendapatan perkapita cukup tinggi sehingga baik
jangka panjang maupun jangka pendek daya beli akan selalu tercipta jika
pendapatan perkapita terus mengalami kenaikan. Selanjutnya hal ini akan
mempengaruhi penjualan produk-produk industri di Kota Semarang yang
selanjutnya dapat mempengaruhi pertumbuhan investasi di sektor industri itu
sendiri.
d. Variabel Suku Bunga
Tingkat suku bunga pinjaman baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek
berpengaruh terhadap investasi industri di Kota Semarang. Tingkat suku bunga
pinjaman merupakan faktor yang cukup penting dalam menarik investasi karena
sebagian besar dana investasi berasal dari pinjaman bank termasuk investasi di
sektor industri. Jika tingkat suku bunga pinjaman ini turun maka masyarakat akan
semakin tertarik meminjam dana di bank dalam rangka berinvestasi.
5.2. Keterbatasan
1) Dalam menentukan variabel-variabel independen, penulis belum
menggunakan penelitian terdahulu yang menggunakan empat variabel
independen sekaligus yaitu tenaga kerja, infrastruktur, pendapatan perkapita
dan suku bunga pinjaman. Penulis hanya terinspirasi dari penelitian-penelitian
yang hanya menggunakan satu variabel diantara empat variabel di atas dalam
satu penelitian dan kemudian menggabungkan dalam satu penelitian.
2) Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series, dimana
terdapat beberapa kelemahan dalam data time series antara lain bahwa data
tersebut sulit di benarkan secara makro.
26
3) Pada variabel tenaga kerja, karena keterbatasan data yang ada maka sulit
ditentukan besarnya presentase tenaga kerja terhadap masing-masing industri
yaitu industri besar & sedang, kecil dan rumah tangga. Oleh karena itu dalam
penelitian ini hanya menggunakan data tenaga kerja secara keseluruhan untuk
mengetahui pengaruhnya terhadap investasi industri total. Akibatnya hasil
analisis tidak signifikan pada variabel ini.
4) Dalam analisis ini variabel infrastruktur hanya menggunakan parameter
panjang jalan (dalam keadaan baik), sedangkan unsur infrastruktur ada banyak
macamnya sehingga diharapkan infrastruktur perlu memperhatikan variabel
lain.
5.3. Saran
Dari uraian di atas penulis dapat memberikan saran sebagai berikut:
a) Pendapatan perkapita dan tingkat suku bunga merupakan faktor yang berpengaruh
terhadap investasi industri di Kota Semarang. Oleh karena itu perlu upaya dari
pemerintah untuk menjaga perekonomian yaitu melalui upaya untuk
mempertahankan atau meningkatkan pendapatan masyarakat. Selain itu melalui
kebijakan untuk menjaga inflasi agar tetap terkendali sehingga tingkat suku bunga
menjadi lebih menarik bagi para investor.
b) Disamping faktor di atas, faktor lain seperti infrastruktur perlu ditingkatkan
kegunaannya antara lain dengan perbaikan-perbaikan jalan atau penambahan jalan
baru melalui jalan layang.
27
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Lincoln. 1997. Ekonomi Pembangunan. Edisi Ketiga. Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi YKPN: Yogyakarta.
Arsyad, Lincoln. 2004. Ekonomi Pembangunan. STIE YKPN: Yogyakarta.
Cahyanugraha, Benny. 2008. “Analisis Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan
Sektor Perdagangan Jawa Tengah Tahun 1985-2005”.Fakultas Ekonomi
Universitas Muhamadiyah: Surakarta.
Deliarnov.

Paragraf Deduktif dan Induktif dari Koran


Minggu, 07 Juni 2015

Karangan Ilmiah kualitatif

MAKALAH PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Indonesia semakin hari kualitasnya makin rendah. Berdasarkan Survey United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap kualitas pendidikan di Negara-negara berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru, kulitasnya berada pada level 14 dari 14 negara berkembang.
Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya para guru dalam menggali potensi anak. Para pendidik seringkali memaksakan kehendaknya tanpa pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya. Kelemahan para pendidik kita, mereka tidak pernah menggali masalah dan potensi para siswa.Pendidikan seharusnya memperhatikan kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak kurang nyaman dalam menuntut ilmu. Prosespendidikan yang baik adalah dengan memberikan kesempatan pada anak untuk kreatif. Itu harus dilakukan sebab pada dasarnya gaya berfikir anak tidak bisa diarahkan.
Selain kurang kreatifnya para pendidik dalam membimbing siswa, kurikulum yang sentralistik membuat potret pendidikan semakin buram. Kurikulum hanya didasarkan pada pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat. Lebih parah lagi, pendidikan tidak mampu menghasilkan lulusan yang kreatif. Ini salahnya, kurikulum dibuat di Jakarta dan tidak memperhatikan kondisi di masyarakat bawah. Jadi, para lulusan hanya pintar cari kerja dan tidak pernah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri, padahal lapangan pekerjaan yang tersedia terbatas. Kualitas pendidikan Indonesia sangat memprihatinkan. Berdasarkan analisa dari badan pendidikan dunia (UNESCO), kualitas para guru Indonesia menempati peringkat terakhir dari 14 negara berkembang di Asia Pacifik. Posisi tersebut menempatkan negeri agraris ini dibawah Vietnam yang negaranya baru merdeka beberapa tahun lalu. Sedangkan untuk kemampuan membaca, Indonesia berada pada peringkat 39 dari 42 negara berkembang di dunia. Lemahnya input quality, kualitas guru kita ada diperingkat 14 dari 14 negara berkembang. Ini juga kesalahan negara yang tidak serius untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dari sinilah penulis mencoba untuk membahas lebih dalam mengenai pendidikan di Indonesia dan segala dinamikanya.
B. Pembatasan Masalah
Dari uraian di atas dilihat begitu kompleksnya permasalahan dalam pendidikan yang ada di Indonesia. Oleh karena itu Penulis membatasi beberapa masalah dalam penulisan makalah dengan “Masalah-masalah mendasar pendidikan di Indonesia, Kualitas pendidikan di Indonesia, dan Solusi Pendidikan di Indonesia.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan
Sesuai dengan pembatasan masalah di atas, maka tujuan penulisan adalah untuk mengetahui masalah-masalah apa saja yang terjadi pada pendidikan di Indoensia yang dillihat dari kualitas pendidikannya semakin hari semakin menurun.
2. Manfaat
Dari penulisan ini diharapkan mendatangkan manfaat berupa penambahan pengetahuan serta wawasan penulis kepada pembaca tentang keadaan pendidikan sekarang ini sehingga kita dapat mencari solusinya secara bersama agar pendidikan di masa yang akan dapat meningkat baik dari segi kualitas maupun kuantitas yang diberikan.
BAB II
LANDASAN TEORI
Sebelum kita membahas mengenaipermasalahan–permasalahan pendidikan di Indonesia, sebaiknya kita melihat definisi dari pendidikan itu sendiri terlebih dahulu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian yaitu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik.
Ki Hajar Dewantara, sebagai Tokoh Pendidikan Nasional Indonesia, peletak dasar yang kuat pendidkan nasional yang progresif untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang merumuskan pengertian pendidikan sebagai berikut :
Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual dan tubuh anak); dalam Taman Siswa tidak boleh dipisahkan bagian-bagian itu agar supaya kita memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan, kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik, selaras dengan dunianya (Ki Hajar Dewantara, 1977:14)
Dari etimologi dan analisis pengertian pendidikan di atas, secara singkat pendidikan dapat dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya.
Pendidikan merupakan proses yang terus menerus, tidak berhenti. Di dalam proses pendidikan ini, keluhuran martabat manusia dipegang erat karena manusia (yang terlibat dalam pendidikan ini) adalah subyek daripendidikan. Karena merupakan subyek di dalampendidikan, maka dituntut suatu tanggung jawab agar tercapai suatu hasil pendidikan yang baik. Jika memperhatikan bahwa manusia itu sebagai subyek danpendidikan meletakkan hakikat manusia pada hal yang terpenting, maka perlu diperhatikan juga masalah otonomi pribadi. Maksudnya adalah, manusia sebagai subyek pendidikan harus bebas untuk “ada” sebagai dirinya yaitu manusia yang berpribadi, yang bertanggung jawab.
Hasil dari pendidikan tersebut yang jelas adalah adanya perubahan pada subyek-subyek pendidikan itu sendiri. Katakanlah dengan bahasa yang sederhana demikian, ada perubahan dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti. Tetapi perubahan-perubahan yang terjadi setelah proses pendidikan itu tentu saja tidak sesempit itu. Karena perubahan-perubahan itu menyangkut aspek perkembangan jasmani dan rohani juga.
Melalui pendidikan manusia menyadari hakikat dan martabatnya di dalam relasinya yang tak terpisahkan dengan alam lingkungannya dan sesamanya. Itu berarti,pendidikan sebenarnya mengarahkan manusia menjadi insan yang sadar diri dan sadar lingkungan. Dari kesadarannya itu mampu memperbarui diri dan lingkungannya tanpa kehilangan kepribadian dan tidak tercerabut dari akar tradisinya.
BAB III
PEMABAHASAN
A. Masalah Mendasar Pendidikan di Indonesia
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidangpendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Duniapendidikan yang “sakit” ini disebabkan karenapendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang.Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikanini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi duniapendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembagapendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.
B. Kualitas Pendidikan di Indonesia
Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khususnya di Indonesia yaitu :
– Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan Nasional, DinasPendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di garis depan.Dalam hal ini,interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan agar pendidikansenantiasa selalu terjaga dengan baik.
– Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya.Dimana,masyarakat merupakan ikonpendidikan dan merupakan tujuan dari adanyapendidikan yaitu sebagai objek dari pendidikan.
Banyak faktor-faktor yang menyebabkan kualitaspendidikan di Indonesia semakin terpuruk. Faktor-faktor tersebut yaitu :
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Kendati secara kuantitas jumlah guru di Indonesia cukup memadai, namun secara kualitas mutu guru di negara ini, pada umumnya masih rendah. Secara umum, para guru di Indonesia kurang bisa memerankan fungsinya dengan optimal, karena pemerintah masih kurang memperhatikan mereka, khususnya dalam upaya meningkatkan profesionalismenya. Secara kuantitatif, sebenarnya jumlah guru di Indonesia relatif tidak terlalu buruk. Apabila dilihat ratio guru dengan siswa, angka-angkanya cukup bagus yakni di SD 1:22, SLTP 1:16, dan SMU/SMK 1:12. Meskipun demikian, dalam hal distribusi guru ternyata banyak mengandung kelemahan yakni pada satu sisi ada daerah atau sekolah yang kelebihan jumlah guru, dan di sisi lain ada daerah atau sekolah yang kekurangan guru. Dalam banyak kasus, ada SD yang jumlah gurunya hanya tiga hingga empat orang, sehingga mereka harus mengajar kelas secara paralel dan simultan.
Bila diukur dari persyaratan akademis, baik menyangkut pendidikan minimal maupun kesesuaian bidang studi dengan pelajaran yang harus diberikan kepada anak didik, ternyata banyak guru yang tidak memenuhi kualitas mengajar (under quality).
Hal itu dapat dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang belum sarjana, namun mengajar di SMU/SMK, serta banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan seperti ini menimpa lebih dari separoh guru di Indonesia, baik di SD, SLTP dan SMU/SMK. Artinya lebih dari 50 persen guru SD, SLTP dan SMU/SMK di Indonesia sebenarnya tidak memenuhi kelayakan mengajar. Dengan kondisi dan situasi seperti itu, diharapkan pendidikan yang berlangsung di sekolah harus secara seimbang dapat mencerdaskan kehidupan anak dan harus menanamkan budi pekerti kepada anak didik. “Sangat kurang tepat bila sekolah hanya mengembangkan kecerdasan anak didik, namun mengabaikan penanaman budi pekerti kepada para siswanya.
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikantetapi, pengajaran merupakan titik sentralpendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitaspendidikan Indonesia. Dengan pendapatan yang rendah, terang saja banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya.
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen.
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataanpendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
6. Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasilpendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahanpendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biayapendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar sepertipendidikan menjadi korban. Dana pendidikanterpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikandilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang PendidikanDasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikanitu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikanformal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukumpendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasipendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasipendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan HukumPendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuanpendidikan kelak akan menjadi badan hukumpendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.
C. Solusi Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah, seperti rendahnya kualitas sarana fisik, rendahnya kualitas guru, dan lain-lain seperti yang telah dijelaskan diatas, secara garis besar ada dua solusi yaitu:
– Solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistempendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
– Solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung denganpendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-saranapendidikan, dan sebagainya.
Maka dengan adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikan di Indonesia dapat bangkit dari keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan generasi-generasi baru yang berSDM tinggi, berkepribadian pancasila dan bermartabat.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Banyak sekali factor yang menjadikan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Factor-faktor yang bersifat teknis diantaranya adalah rendahnya kualitas guru, rendahnya sarana fisik, mahalnya biayapendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya relevansi pendidikandengan kebutuhan, kurangnya pemerataan kesempatanpendidikan. Namun sebenarnya yang menjadi masalah mendasar