Eat Pray Love
Gue baru aja nonton film ini secara penuh dari jam 2 pagi. Mau tau alasan kenapa awalnya gue nonton film ini nge-skip doang? Soalnya gue baca review bahwa film ini membosankan, bikin ngantuk dan bukan film yang enak buat ditonton.
Gue menepis pendapat itu.
Entahlah dengan pendapat lain. Tapi, film ini memang benar-benar menceritakan isi dari judulnya, makan, ibadah, dan cinta. Terlepas dari kualitas pemainnya, yang memang gue gak terlalu mengagumi pemain utamanya, Julia Roberts, dan pemain-pemain pendukungnya, khususnya Christine Hakim. gue mau menceritakan isi dari film ini yang cukup memberi gue pelajaran. Pelajaran tentang kesenangan, ketenangan, dan kedewasaan.
(bentar.. gue puter dulu playlist Kenny G, biar asoy)
Baiklah, pertama gue mulai dari EAT.
Sebenernya ini bagian dari film ini yang gue gak suka tapi suka juga. Kenapa gue gak suka? Karena gue nonton pilem ini jam 2 pagi dalam kondisi kepalaran dan cuma mengandalkan 1 liter air mineral yang gue beli tadi sore. Ditambah sebungkus rokok mild menthol yang justru bikin tambah laper.
Bagian cerita ini menceritakan bagaimana Elizabeth Gilbert (Liz) jalan-jalan ke Italia. Wohoo! Kalian tahu kan bagaimana Roma itu. Tempat yang sangat romantis, artistik, klasik, dan muhanteb-suranteb deh pokoknya. Diceritakan Liz pergi ke Roma buat liburan, fase awal melepas penat di otaknya setelah bercerai dari suaminya. Menurut gue sih, film itu menceritakan alasan mereka bercerai karena belum adanya kematangan dalam pernikahan mereka, dan Liz kabur begitu saja, mestipun suaminya memohon untuk tetap melanjutkan hubungan mereka karena dia masih mencintai Liz.
Di Roma ini, Liz menemukan beberapa teman dan… Oh my God!.. DIA MAKAN MELULU! Lo tahu sendiri kan makanan khas Italia itu kayak gimana? Pizza, pasta, sampanye, dan masih banyak lagi. Yang terbesit di otak gue adalah “Kalo ada orang kayak gini di depan gue, bakal gue keplak kepalanya, trus pasang muka melas, memohon dikasih makan, hiks.” Lo bayangin aja, dengan keadaan gue yang MAHASISWA BANGET ini, kelaparan begadang tengah malam , trus disuguhi tontonan kayak begono. Ohh.. Sudahlah. Tapi, yang gue suka dari bagian ini adalah, gue tahu bahwa gue suatu saat nanti pasti punya kesempatan ke Itali juga. Gue tahu makanan apa aja yang maknyos di sana, budaya menggerakkan tangan kalo sambil ngomong, bahkan budaya mesum di tengah jalan :p Intinya pada bagian ini, Liz bener-bener menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang, tapi belum menyembuhkan perasaannya dan belum mematangkan dirinya.
Kedua, bagian PRAY.
Tanpa maksud spoiling buat yang belum nonton (lo doang kali yang belum nonton, Bob!), Liz akhirnya melanjutkan perjalanannya menuju India untuk bertemu dengan Guru Gita. Guru dari teman kencannya setelah dia bercerai dari suaminya. Gue lihat, pada saat Liz bertemu dengan teman kencannya ini, sekedar bentuk pelarian aja, di mana Liz sedang galau, ketemu orang yang pas, trus nyoba berhubungan. Yah, seperti yang kita tahu, biasanya hubungan seperti itu gak bakal berhasil. Tapi, yang Liz dapet adalah dia bisa menemukan cara untuk mencapai ketenangan dan keseimbangan diri lewat ibadah yang pernah dilakukannya bersama teman kencannya itu (duh, lupa banget gue siapa namanya, males buka filmnya lagi) di tempat Guru Gita. Karena itulah dia ke India, ke pusat pelayanan Guru Gita. Di tempat ini, Liz mengikuti ibadah Hindu dan bertemu dengan seorang gadis kecil (yang lagi-lagi gue lupa namanya) dan seorang pria (iyee, gue juga lupa siapa namanya) yang selalu manggil Liz, Makanan (at least, itu tadi namanya menurut subtitle Bahasa). Gadis kecil yang dia temui punya masalah, mau dikawinin sama seorang cowok yang belum dia kenal, karena udah jadi adat-istiadatnya kayak gitu. Liz menemaninya sampai hari pernikahannya dan meyakinkan gadis kecil itu bahwa, Liz bakalan bahagia selama gadis itu bahagia dalam pernikahannya dan meyakinkannya pula untuk terus mencoba menjalaninya. Liz juga dekat dengan pria yang manggil dia, Makanan. Mereka punya permasalahan yang sama, cerai. Tapi diceritakan pria ini sangat menyesal dengan sikapnya ketika sebelum bercerai. Pada akhirnya, pria ini menyesal tidak bisa mengikuti perkembangan anaknya. Dia kehilangan anaknya akibat perceraian, akibat ulahnya sendiri. Di tempat Guru Gita inilah, sama seperti Liz, pria ini mencoba menyembuhkan dirinya, mencoba memaafkan dirinya, Dia pula yang membantu Liz untuk terus berusaha menyelesaikan misinya untuk mencari pencerahan di India.
Pada bagian ini gue belajar juga untuk memaafkan diri gue sendiri dulu untuk melepaskan semua beban. Bener sih, banyak hal dan masalah yang terjadi di hidup gue dan sering banget menyalahkan diri sendiri. Ujungnya, semua menjadi beban. Masalah keluarga, terutama. Gue seperti terus kabur dari kenyataan. Terus berusaha mencari pencerahan namun gak pernah terang. Mulai menyalahkan banyak hal dan banyak orang lagi. Mungkin agak susah untuk gue terapkan sekarang, tapi minimal gue udah pernah disadarkan melalui film ini. Balik ke film, pada akhirnya, Liz pun merasa sudah mencapai pencerahan lalu melanjutkan perjalanannya menuju… BALI.
Kita sampai ke bagian ke tiga, LOVE.
Di sinilah bagian terbaiknya. Bagian di mana Liz benar-benar menyempurnakan kesembuhan dirinya. Liz kembali bertemu dengan Ketut Liyer (nah! akhirnya ada nama yang gue inget!) setelah sekitar 1-2 sebelumnya pernah ke Bali dan bertemu dengannya. Ketut Liyer sebelumnya meramal tentang kehidupan dan nasib Liz di kemudian hari. Bersama Ketut Liyer lah, Liz menyempurnakan pencerahan yang dia cari selama ini. Di Bali, Liz juga bertemu dengan Wayan (nah! ini yang paling gue inget, Christine Hakim nih cuy!). seorang tabib yang memiliki permasalahan yang hampir sama dengannya. Bercerai juga, cuman bedanya karena kekerasan dalam rumah tangga. Wayan punya anak yang bernama Tuti. Mereka tidak punya tempat tinggal jadi selalu berpindah tempat. Bersama Wayan lah, Liz belajar tentang hidup dan melanjutkan kisah cinta, membuka hatinya. Ini karena Liz bertemu pula dengan seorang pria, namanya Felipe, pria dari Brazil yang ternyata eh ternyata, duda hasil perceraian. Entah kenapa film ini didominasi oleh orang-orang yang bercerai, seharusnya ini film Indonesia, di mana artisnya yang dalam kehidupan nyata pun memang hobi kawin-cerai.
Dikisahkan, Felipe menjalin hubungan, hubungan yang sangat dekat. Felipe pun jatuh cinta dengan Liz. Liz sebenarnya cinta dengan Felipe, tapi masih ada ketakutan dalam dirinya untuk berkomitmen. Sementara Felipe sudah sangat yakin dengan perasaannya. Liz melarikan diri lagi. Berencana kembali ke Amerika, Liz berpamitan kepada Ketut Liyer. Ketut Liyer memberikan sebuah pesan yang meyakinkan Liz untuk tidak takut terhadap perasaan dan cintanya. dan menyempurnakan keseimbangan dalam dirinya. Liz mengurungkan niatnya kembali ke Amerika dan… Yes! You’re right! End of this movie is HAPPY ENDING. Liz kembali ke Felipe dan melanjutkan cintanya.
Yang gue pelajari di bagian terakhir ini cukup banyak. Bagian di mana Liz membantu Wayan melalui teman-temannya patungan buat ngasih Wayan rumah, rumah yang diimpikan oleh Tuti. Bagian di mana Felipe nangis waktu anaknya balik ke Australia, padahal baru seminggu di Bali buat ketemu bapaknya. Kelihatan banget cintanya seorang bapak kepada anaknya. Gue akhirnya belajar tentang kematangan diri, di mana di saat orang telah menjadi dewasa, dia harus bisa menentukan sikap. Terlihat dari bagian ending ketika Felipe bilang bahwa dia harus melanjutkan hidup! Dia menemukan wanita yang benar-benar dia cintai dan dia membuang ketakutannya akan kegagalan pernikahannya yang lalu. Terlihat juga di bagian ketika Liz pada akhirnya untuk bersikap dan bertindak serupa.
Benar-benar film yang komplit makna!
Tulisan panjang ini gue rasa setimpal dengan film berdurasi 2.5 jam ini. Setimpal pula dengan jam tidur yang buang.
Terima kasih untuk film Eat Pray Love dan semua orang yang terlibat dalam pembuatannya, terutama yang bikin ceritanya.
Sayang banget kalo kelewatan film bagus gara-gara review yang belum terbukti sebelum ditonton.